Monday, September 17, 2012

Mengenai Analogi

Bismillah, kali ini saya mau menumpahkan sebuah pemikiran lama yang sekarang tiba-tiba muncul lagi *kaya clbk gitu hhehe*. Sebelumnya, ditulisan ini sama sekali saya gga bermaksud untuk membawa-bawa masalah agama, cuma contoh yang saya punya yya mengenai hal itu, jadi mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua orang yang nantinya membaca tulisan ini, jika ada yang tidak berkenan, atau jika ada yang tidak sesuai, atau jika ada yang salah, mohon diingatkan.

Dulu saya gampang banget nerima analogi. Memang untuk memahami sesuatu lebih mudah dengan analogi. Seperti jaman SD dulu, kalo ditanya berapa 2 - 3, pasti saya analogikan dengan punya uang 2 terus ngutang 3, jadi sisanya masih punya hutang 1, artinya jawabannya -1 hhehe. Kadang analogi seperti itu memang membuat lebih mudah memahami sesuatu, dan saya menerimanya. Sampai suatu hari saya baca notes fb seorang teman dari agama tetangga menjelaskan suatu ayatnya dengan analogi. Saya meyakini dengan hati bahwa itu salah, tapi membaca analoginya membuat saya sempat membenarkan, sampai saya terus mencari-cari apa yang salah, dimana kesalahannya, karena pasti harus ada yang salah disitu, karena kenyataannya tidak sesuai kebenarannya. Sampai akhirnya saya menemukan dimana kesalahannya, sepertinya, tapi itu hanya pendapat saya. Menganalogikan sesuatu, gga boleh sembarangan, harus sesuai keadaannya. Kalo di matematika, untuk membuktikan sesuatu, bisa dengan asumsi, tapi jelas, asumsi itu juga harus dibuktikan kebenarannya. Analogi pun juga harus seperti itu, harus ada alasan yang jelas kenapa sesuatu bisa dianalogikan dengan sesuatu yang lain.

Suatu waktu saya pernah baca dua artikel sekaligus, pertama ada seorang matematikawan yang membuktikan bahwa Tuhan itu ada dengan formula-formula matematika, tapi saya agak lupa waktu itu Tuhan dianalogikan dengan apa dan bagaimana cara membuktikannya. Kedua, ada matematikawan pula, yang membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, juga dengan analogi dan pembuktian-pembuktian matematika, namun dengan objek yang berbeda. Kedua matematikawan itu mungkin cerdas di bidangnya, mungkin pembuktian pada barisan-barisan formulasi matematikanya tidak salah sedikitpun. Tapi yang jadi pertanyaan, bisakah Tuhan dianalogikan dengan angka atau simbol matematika atau yang lainnya? Siapa kita berani mengasumsikan Tuhan seperti itu?

Semenjak kejadian itu, saya jadi lebih kritis lagi memandang suatu analogi. Pertanyaan pertama yang harus ditanyakan, bisakah? Yang saya pikirkan sekarang, analogi bisa jadi memudahkan pemahaman, tapi mungkin bisa jadi juga menyesatkan. Kembali lagi sih, kalau menerima apapun, jangan langsung di-iya-kan, seperti kalau lagi makan, jangan langsung ditelen hhehee, bisakah dianalogikan seperti itu? wkwk.

No comments:

Post a Comment