Monday, November 29, 2010

Pelajaran dari Main Game *Ngasal, hhaha

Balance, itulah game yang sedang saya gemari akhir-akhir ini, hhaha. Tapi ini tidak penting, karena saya tidak sedang ingin bercerita tentang balance, tapi tentang apa yang saya rasakan saat bermain game.

Ketika saya mengemari suatu game, ketika saya tergila-gila dengan suatu game, saya akan mengerahkan seluruh perjuangan saya sampai titik darah penghabisan untuk menamatkan game itu *lebay mode: on*. Level demi level saya lewati untuk mencapai titik ujung, titik tamat game tersebut.

Setuju tidak kalau saya bilang setiap level punya titik sulit yang harus dilewati dan level yang lebih tinggi akan lebih sulit untuk dilalui dari pada level sebelumnya? Mungkin tidak selalu, tapi kebanyakan begitu, benar kan? Benar kan? *nanya sambil ngancem pake piso*. Seberapapun sulitnya, seberapapun menyebalkannya level pada game itu, saya tetap tertarik untuk melaluinya, karena saya yakin orang pembuat game itu pasti tau bahwa sang pemain akan bisa melewati titik sulit tersebut, walaupun mungkin butuh proses dan waktu yang lama. Setuju gga sih? Setuju kan? Setuju dong? =p

Kalau di game ada level-level yang harus dilalui, bukankah dikehidupan nyata juga ada tingkatan-tingkatan semacam itu? Walaupun tidak tertera jelas seperti di game-game. Ya, dikehidupan nyata pun ada tingkatan-tingkatan semacam itu, dan untuk tingkatan yang lebih tinggi, pasti punya ujian yang lebih sulit pula. Kalau kita, khususnya saya, bisa menamatkan suatu game yang kita mainkan, kenapa kita tidak bisa menamatkan ujian-ujian di kehidupan nyata?

“Tapikan kehidupan itu bukan game?”, mungkin ada yang bertanya seperti itu.

Ya, kehidupan itu bukan game, tapi bisa di analogikan dengan game, dan kenapa kita tidak menganggap kehidupan sebagai game kalau itu malah membuatnya semakin menyenangkan?

Suatu game ada yang membuat dan ada yang memainkan, begitu juga dengan kehidupan. Allah telah mengatur sedemikian sehingga di dunia ini terdapat kehidupan yang harus kita jalani, dan setiap manusia, percayalah, pasti punya ujiannya sendiri-sendiri, tergantung dengan tingkatan-tingkatan kita. Kenapa Allah memberikan kita ujian seperti itu? Karena seperti halnya game, Sang Pemilik Kehidupan itu pun juga yakin kalau kita, manusia ciptaannya, pasti bisa melalui ujian yang Dia berikan. Percaya tidak? Kalau saya sih, dengan berbagai macam pengalaman menghadapi berbagai masalah, saya sangat percaya itu, walaupun dalam menghadapi itu semua, butuh proses dan waktu yang panjang, butuh air mata yang bercucuran, butuh emosi yang naik turun, hhehe, butuh perjuangan deh pokoknya.

“Karena Allah tidak akan memberikan ujian kepada manusia diluar kesanggupannya.”

Mau vs Harus

“Ketika bersyahadat, artinya kita menyatakan bahwa diri kita bersedia untuk dibatasi.”
Sebuah kalimat ajaib yang mampu menguatkan saya.
Bagaimana tidak?Saat saya ingin sekali menyapa dan memperhatikan seseorang, saat hati ini terpaut kepada sang pujaan hati, disaat itu pula Allah mengatur bagaimana seharusnya interaksi dengan lawan jenis, dan kata-kata itu yang mengingatkan saya, seolah menghilangkan keraguan selama ini. Keraguan untuk memilih apa yang saya mau atau apa yang harus.
Ketika saya memilih apa yang saya mau, namun nyatanya keinginan itu melanggar aturan yang ada, bukankah saya telah salah memilih? Karena aturan itu dibuat oleh Dzat yang selalu benar, aturan itu mutlak benar, dan saya pun meyakini itu benar.
Jika sudah jelas mana yang benar, jika sudah meyakini bahwa itu benar, masihkah saya egois mementingkan keinginan itu?

Syahadat di lima waktu sholat, menyatakan bahwa saya bersedia untuk dibatasi oleh aturan-aturan yang ada. Tidak hanya menyatakan, tapi juga untuk dilaksanakan.

Cukup sudah pelajaran yang saya dapat.
Cukup sudah saya dengarkan rayuan si musuh yang nyata bagi manusia. :)

Komennya itu Lho! Ggrrrr~

Saya pernah baca artikel tentang betapa ekspresifnya orang-orang di suatu Negara X * disensor deh* menyambut karya-karya anak-anak bangsanya. Tapi disini saya tidak akan membahas tentang itu, karena domainnya terlalu luas dan saya bukan mau membandingkan dengan Negara Indonesia, nanti ada yang protes kan repot.


Begini deh, coba saya minta kalian, para pembaca tuisan saya yang aneh ini *yang aneh tulisannya, bukan kalian, hhehe*, buat memposisikan diri sebagai seseorang yang sedang meminta pendapat terhadap sesuatu yang baru kalian buat.

Kasus pertama,
Kalian: “hei, cobain deh makanan gw, buat sendiri lho!”

Siyangdimintapendapat: “hueks, uhuksuhuks, asin banget!”


Kasus kedua,

Kalian: “hei, cobain deh makanan gw, buat sendiri lho!”

Siyangdimintapendapat: “hhm, enak enak, tapi kayanya garamnya harus dikurangin dikit deh, coz agak asin.”


Sebenernya hal yang mau disampaikan itu sama, sama-sama mau bilang kalau makanan itu asin, tapi bagaimana perasaan kalian jika diperlakukan seperti kedua kasus diatas? Kalau saya sih, langsung *JLEBB* banget kalau keadaannya seperti kasus pertama.

Memang tidak semua orang seperti saya, yang sensitif dan melankolis, hhaha, baru di protes dikit aja udah ciut. Tapi memang kenyataannya, tidak semua orang setegar yang kalian pikir.
Kata-kata yang menurut seseorang biasa, bisa jadi terdengar kasar ditelinga orang lain. Jangan karena komentar yang seperti itu malah menghentikan produktivitas seseorang (!!!!).

Ada yang bilang, katakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Tapi bukankah dalam penyampaian harus ada aturannya? Sampaikan dengan bahasa yang dimengerti, sampaikan dengan bahasa yang sesuai dengan sasaran atau sia-sia apa yang kita sampaikan.

Hargai! Hargai! :)